Senin, 06 April 2015

Paguyuban Ngesti Tunggal

Paguyuban Ngesti Tunggal atau yang biasa disingkat Pangestu merupakan salah satu Wadah Pendidikan Budi Pekerti dan Pengolahan Jiwa yang mengutamakan konsep persatuan di dalam relasi dengan sesama dan relasi dengan Tuhan Yang Maha Esa.Paguyuban ini didirikan di surakarta pada tanggal 20 Mei 1949 yang merupakan wujud dari ikatan persatuan dari setiap anggota Pangestu. Walaupun demikian, ajaran Pangestu itu sendiri sudah diwahyukan sejak tanggal 14 Februari 1932 kepada R. Soenarto Mertowardojo di Surakarta.Sebagai sebuah organisasi, Pangestu tidak mengikat dan tidak memaksa anggotanya untuk meninggalkan agama yang telah dianutnya. Paguyuban diartikan sebagai suatu perkumpulan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan, Ngesti artinya adalah upaya batiniah yang didasari dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Tunggal artinya bersatu dalam hidup bermasyarakat, bersatu kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Asal-usul Ajaran Pangestu

Asal-usul mengenai ajaran Paguyuban Ngesti Tunggal tidak terlepas dari riwayat hidup pendirinya, yaitu R. Soenarto Mertowardojo. R. Soenarto dilahirkan pada tanggal 21 April 1899 di Desa Simo, Kabupaten Boyolali, Surakarta sebagai putera keenam dari keluarga R. Soemowardojo. Sejak kecil ia tidak diasuh oleh orang tua kandungnya melainkan dititipkan untuk tinggal dan dibesarkan oleh orang lain (dalam bahasa Jawa disebut ngenger).Di dalam buku Sabda-sabda Pratama yang diterbitkan oleh Proyek Penerbitan dan Perpustakaan Pangestu dikatakan bahwa pada tanggal 14 Februari 1932, R. Soenarto menerima wahyu pertama ketika melakukan salat daim. Shalat daim adalah doa terus-menerus untuk mencapai tingkat pengetahuan yang sempurna.
Wahyu yang diterima oleh R. Soenarto terjadi dalam tiga tahap yaitu, pertama berupa penegasan bahwa Ilmu Sejati merupakan petunjuk nyata tentang jalan benar menuju asal dan tujuan hidup, kedua berupa pernyataan Sang Suksma Sejati tentang siapakah dirinya dan apakah tugasnya serta siapakah Suksma Kawekas itu, ketiga berupa sabda yang meneguhkan hati R. Soenarto dalam menjalankan tugas menaburkan terang serta janji akan diberikannya dua orang pembantu yaitu Hardjoprakoso dan Soemodihardjo untuk mencatat sabda-sabda Sang Suksma Sejati. Pada tanggal 27 Mei 1932 R. Soenarto, Hardjoprakoso dan Soemodihardjo berkumpul untuk mencatat sabda-sabda yang diterima oleh R. Soenarto selama tujuh bulan berturut-turut dan dikumpulkan dalam Buku Sasangka Djati. Antara tahun 1933-1949 tidak ada sabda yang turun tetapi pada tahun 1949-1961 R. Soenarto menerima kembali beberapa sabda yang dihimpun dalam buku Sabda Khusus. Sabda-sabda yang dihimpun dalam buku Sabda Khusus tersebut merupakan komplemen dan pemantap sabda-sabda dalam Sasangka Djati sebagai Kitab Suci yang utama.

Pedoman Dasar

Pangestu memiliki pedoman dasar yang disebut Dasa Sila sebagai sikap hidup ke luar dan ke dalam (lahir batin) bagi anggotanya. Dasa Sila tersebut yaitu:
  1. Berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa
  2. Berbakti kepada Utusan Tuhan
  3. Setia kepada Kalifatullah (Pembesar Negara) dan Undang-undang Negara
  4. Berbakti kepada Tanah Air
  5. Berbakti kepada orang tua (ayah ibu)
  6. Berbakti kepada saudara tua
  7. Berbakti kepada guru
  8. Berbakti kepada pelajaran keutamaan
  9. Kasih sayang kepada sesama hidup
  10. Menghormati semua agama

 

Pokok Pengajaran

Enam pokok pengajaran Sang Guru Sejati adalah sebagai berikut:
  • Mengingatkan semua umat yang lupa akan kewajiban suci, yaitu mereka yang ingkar (murtad) akan perintah Allah.
  • Menunjukkan jalan benar ialah jalan utama yang berakhir dalam kesejahteraan, ketenteraman dan kemuliaan abadi.
  • Menunjukkan adanya jalan simpangan yang berakhir dalam kegelapan, kerusakan dan kesengsaraan.
  • Menunjukkan larangan Tuhan yang harus dijauhi, jangan sampai dilanggar.
  • Menunjukkan adanya Hukum Abadi.
  • Menerangkan tentang dunia besar dan dunia kecil, yaitu semesta alam dan seisinya.
Perlu diketahui bahwa ajaran Sang Guru Sejati tersebut bukanlah agama baru dan tidak bertentangan dengan ajaran agama yang diyakini berasal dari Wahyu ilahi. Bagi anggota Pangestu ajaran Sang Guru Sejati tersebut justru dapat memperdalam ajaran agama yang ada.
Ajaran Sang Guru Sejati mengandung hal-hal sebagai berikut :
  • Ilmu ketuhanan (Tauhid dan Tasawuf).
  • Filsafat hidup -- menunjukkan suatu sikap jiwa yang berdasarkan suatu pengertian tertentu untuk menghadapi pengaruh gelombang kehidupan dengan persoalan-persoalannya.
  • Ilmu jiwa (psikologi) -- menguraikan susunan (struktur) jiwa kita, kerja dan fungsi) masing-masing bagian serta hubungan antara yang (korelasi) satu dengan yang lain.
  • Ilmu kesehatan, terutama kesehatan jiwa yang banyak berpengaruh terhadap kesehatan jasmani.
  • Metafisika -- menerangkan adanya bentuk-bentuk halus di samping materi kasar, yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera atau alat-alat.
  • Ilmu seni hidup -- memberikan petunjuk kehidupan agar manusia dapat mencapai dan menikmati iklim yang sebaik-baiknya, yaitu kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

 


 


Pemikiran Edmund Husserl tentang Fenomenologi

A.   PENDAHULUAN
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938). Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia mulai karirnya sebagai ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat. Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana kita hidup. Selanjutnya ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia di mana kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun tetapi kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran kita. Eksistensi kesadaran adalah satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang dunia yang kita hayati serta pengalaman kita yang langsung tentang dunia tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi. Pandangan Husserl tentang perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh kuat terhadap filsafat, khususnya di Jerman dan Perancis.[1] Oleh karena itulah, pada tulisan ini saya mencoba untuk memaparkan fenomenologi menurut Edmund Hesserl ini.
B.   BIOGRAFI EDMUND HUSSERL (1859-1938)
Edmund Gustav Albrecht Husserl dilahirkan pada tanggal 8 April 1859 di Prostějov, Moravia, Ceko (yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Austria). Ia adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal sebagai bapak fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena obyektif. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostějov (Prossnitz).  Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf; karya filsafatnya mempengaruhi, antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada tahun 1886 dia mempelajari psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi. Tahun 1887 Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) dari tahun 1887, lalu di Göttingen sebagai profesor dari 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari 1916 hingga ia pensiun pada 1928. Setelah itu, ia melanjutkan penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga kemudian dilarang menggunakannya – karena ia keturunan Yahudi – yang saat itu dipimpin oleh rektor, dan sebagian karena pengaruh dari bekas muridnya, yang juga anak emasnya, Martin Heidegger.[2] Husserl meninggal dunia di Freiburg pada tanggal 27 April 1938 dalam usia 79 tahun akibat penyakit pneumonia.[3]
C.   FENOMENOLOGI EDMUND HUSSERL
1.    Pengertian Fenomenologi
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari phainesthai / phainomai / phainein yang artinya menampakkan, memperlihatkan.[4] Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera. Dan yang lebih penting dalam filsafat fenomenologi sebagai sumber berpikir yang kritis.[5] Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomen.[6]
Istilah fenomenologi telah digunakan sejak lama, sejak Lambert yang sezaman dengan Kant, juga Hegel sampai Peirce, dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert diartikan sebagai ilusi atas pengalaman. Kant membedakan antara phenomenon dan noumenon, yang pertama sebagai objek yang kita alami dan yang kedua kejadian sebagaimana hal itu terjadi. Hegel memandang phenomena sebagai tahapan untuk sampai ke noumenon. Pada abad XIX arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta. Peirce berpendapat bahwa phenomenon itu bukan sekedar memberikan deskripsi obyek, melainkan telah masuk unsur ilusi, imajinasi dan impian. Sejak Edmund Husserl arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir.[7] Fenomenologi juga merupakan sebuah metode baru dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, sebuah metode yang memperlihatkan diri dalam kesadaran.[8]
Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya.[9]
2.    Metode Fenomenologi Edmund Husserl
Dalam pemikiran Husserl, konsep fenomenologi itu berpusat pada persoalan tentang kebenaran. Baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi kita memperoleh langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni.[10] Husserl yakin bahwa ada kebenaran bagi semua dan manusia dapat mencapai kebenaran itu. Akan tetapi, Husserl melihat bahwa sesungguhnya di dalam filsafat itu sendiri tiada kesesuaian dan kesepakatan karena tidak adanya metode yang tepat sebagai pegangan yang dapat diandalkan. Bagi Husserl metode yang benar-benar ilmiah adalah metode yang sanggup membuat fenomena menampakkan diri sesuai dengan realitas yang sesungguhnya tanpa memanipulasinya. Ada suatu slogan yang terkenal di kalangan penganut fenomenologi, yaitu: zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu sendiri). Dalam keterarahan benda itu, sesungguhnya benda itu sendirilah yang dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat dirinya sendiri. Berangkat dari proses pemikiran yang demikian, maka lahirlah metode fenomenologis.[11]
Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi.[12]
Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran). Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.[13]
Ada beberapa aspek yang penting dalam intensionalitas Husserl, yakni:
  1. Lewat intensionalitas terjadi objektivikasi. Artinya bahwa unsur-unsur dalam arus kesadaran menunjuk kepada suatu objek, terhimpun pada suatu objek tertentu.
  2. Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat objektivikasi tadi dalam arti bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa-peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun pada objek sebagai hasil objektivikasi tadi.
  3. Intensionalitas juga saling menghubungkan segi-segi suatu objek dengan segi-segi yang mendampinginya.
  4. Intensionalitas mengadakan pula konstitusi.[14]
“Konstitusi” merupakan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional.[15]
Sebagai contoh dari konstitusi:  “saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan seterusnya”. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat Husserl sulalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi real dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis.
Benda-benada tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yaitu penundaan segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intuitif dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung. Maksudnya adalah melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara, dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya.[16] Agar orang dapat memahami sebagaimana adanya, ia harus memusatkan perhatian kepada fenomena tersebut tanpa prasangka dan tanpa memberi teori sama sekali, akan tetapi tertuju kepada barang / hal itu sendiri, sehingga hakikat barang itu dapat mengungkapkan dirinya sendiri.[17]
Dengan kata lain dalam mengalami fenomen kita tidak terutama memandang fenomen, melainkan memandang barang yang dibelakangnya. Jadi yang kita utamakan adalah realitas yang di luar, dan tidak fenomennya sendiri yang ada di dalam kesadaran kita. Kita biasanya terus begitu saja tertarik ke realitas, dan karena hanyut, maka kita terus saja mengakui ini dan itu. Dalam semua itu sebenarnya pengertian kita sebetulnya tidak murni. Kita mempunyai banyak prasangka, perasaan, pendirian tertentu, dan sebagainya. Semua itu kita masukkan saja ke dalam pengertian kita. Sekarang untuk mencapai pengertian yang murni kita harus berani hanya melihat fenomen qua fenomen.[18]
Untuk mencapai hakikat tersebut, Husserl mengemukakan metode bracketing dalam bentuk reduksi-reduksi. Reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman. Pengalaman adalah tanah dari mana dapat tumbuh segala makna dan kebenaran.[19] Ada 3 macam reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam pendekatan fenomenologi itu, yaitu reduksi fenomenologis, reduksi eidetis, dan reduksi fenomenologi transedental.
a.       Reduksi fenomenologis
Yaitu menyisihkan segala keputusan tentang realitas atau idealitas objek dan subjek. Tidak mau diperhatikan apakah memang ada atau tidak; eksistensi dikesampingkan.[20] Walaupun demikian, fenomen itu memang merupakan data, sebab sama sekali tidak disangkal eksistensinya; hanya tidak diperhatikan. Namun obyek yang diteliti hanya yang sejauh saya sadari. Dalam suasana kesadaran itu dengan tenang saya pandang objek menurut relasinya dengan kesadaran. Tidak diberikan refleksi mengenai fakta-fakta; tidak pula diberi statement tentang yang faktual.[21]
Hal yang dilakukan oleh Husserl dalam reduksi fenomenologis ini adalah :
1)      Dengan “mengurung” atau meminggirkan keyakinan kita akan totalitas obyek-obyek dan segala hal yang kita terlibat dengannya dari pendirian alamiah dan malah menemui pengalaman kita tentangnya.
2)      Menjelaskan struktur dari apa yang tetap ada setelah dilakukan “pengurungan”.[22]
b.      Reduksi eidetis
Maksud reduksi ini ingin menemukan eidos, intisari; atau sampai kepada wesen-nya (hakikat). Karena itu, reduksi ini juga disebut : wesenchau; artinya di sini juga kita melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum, misalnya: “manusia adalah hakikatnya dapat mati”; bukan suatu inti yang tersembunyi, misalnya: “hakikat hidup”; bukan pula hakikat seperti yang dimaksud Aristoteles, seperti: “manusia adalah binatang yang berakal”. Hakikat yang dimaksud Husserl adalah struktur dasariah, yang meliputi: isi fundamental, ditambah semua sifat hakiki, ditambah semua relasi hakiki dengan kesadaran dengan objek lain yang disadari.[23] Tujuan sebenarnya dari reduksi adalah untuk mengungkap struktur dasar (esensi, eidos, atau hakikat) dari suatu fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan. Oleh karena itu, dalam reduksi eidetis yang harus dilakukan adalah jangan dulu mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya aksidental atau eksistensial itu. Caranya adalah dengan “menunda dalam tanda kurung”.[24] Dengan reduksi eidetis ini dimana dalam khayalan semua perbedaan-perbedaan dari sejumlah item dihilangkan sehingga tinggal saja suatu esensi.[25]
c.       Reduksi fenomenologis transedental
Dalam reduksi yang ketiga ini bukan lagi mengenai objek atau fenomen, tetapi khusus pengarahan (intensionalitas) ke subjek (wende zum subjekt) mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai “akt-akt” kesadaran sendiri yang bersifat transedental. Fenomenologi harus menganalisis dan menggambarkan cara berjalannya kesadaran transedental. [26]
D.   PENUTUP / KESIMPULAN
Yang menarik dan sangat penting dari metode fenomenologi Edmund Husserl ini adalah bahwa setiap orang jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan sebelum mendialogkan masalah yang dihadapi dengan secermat-cermatnya. Dalam metode brackketing dengan berbagai reduksi-reduksi yang Husserl ungkapkan, bukti-bukti nyata belumlah dipandang cukup untuk menetapkan sebuah eksistensi atau kebenaran. Kebenaran tidak saja ditetapkan berdasarkan bukti-bukti empiris, tetapi masih diperlukan kepada berbagai inquiry pengalaman “supra-empiris” lewat intuisi yang bersifat apriori.
Husserl agaknya telah mampu menyetesiskan sekaligus mengapresiasikan kedua aliran filsafat yang sangat bertolak belakang, yaitu idealisme dan naturalisme. Ini dapat dilihat di satu pihak ia menafikan sama sekali eksistensi objek pengalaman dunia nyata, dan di pihak lain ia juga tidak menerima bahwa eksistensi kebenaran itu di luar jangkauan akal manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran transedental sebagai kebenaran tertinggi.
Metode fenomenologi mulai dengan orang yang mengetahui dan mengalami, yakni orang yang melakukan persepsi. Fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan pikiran, justru karena benda adalah objek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang murni.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro, Drs, 1994, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Abidin. Zainal, 2006, Filsafat Manusia, Memahami Manusia melalui Filsafat, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Bertens, K, 1981, Filsafat Barat Abad XX Jerman, Jakarta: PT. Gramedia, Anggota IKAPI.
_________, 1996, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Perancis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Brouwer, M.A.W, 1984, Psikologi Fenomenologis, Jakarta: PT. Gramedia.
Collinson, Diane, 2001, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada. 
Dagun, Save M., 1990, Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta .Cet. 1.
1984, Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Muhadjir, Noeng, 1998, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme, Yogyakarta, Rakesarasin.
Pradja, Juhaya, S., 1987, Aliran-Aliran Filsafat dari Rasionalisme hingga Skularisme, Bandung: CV. Alva Gracia. 
Rapar, Jan Hendrik, 1996, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius. 
Salam, Burhanuddin, Drs, 1998, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara.
Siswanto, Joko, 1998, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida, Yogyakarta: Pustaka Pelajar anggota IKAPI. cet. 1. 
SJ, N. Drijarkara, Prof, Dr, 1978, Percikkan Filsafat, Jakarta: PT. Pembangunan.
Titus, Harold, dkk, 1984, Living Issues in Philosophy (Persoalan-Persoalan Filsafat), alih bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Zubaedi, Dr, M.Ag, M.Pd, dkk, 2007, Filsafat Barat dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.