Pemikiran Edmund Husserl tentang Fenomenologi
A.
PENDAHULUAN
Fenomenologi
adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938). Salah
satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia mulai karirnya
sebagai ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat. Husserl membedakan
antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana kita hidup. Selanjutnya
ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia di mana
kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun tetapi kita tidak dapat
menganggap sepi kesadaran kita. Eksistensi kesadaran adalah satu-satunya benda
yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang dunia yang kita hayati serta
pengalaman kita yang langsung tentang dunia tersebut adalah pusat perhatian
fenomenologi. Pandangan Husserl tentang perhatian dan intuisi telah memberikan
pengaruh kuat terhadap filsafat, khususnya di Jerman dan Perancis.[1]
Oleh karena itulah, pada tulisan ini saya mencoba untuk memaparkan fenomenologi
menurut Edmund Hesserl ini.
B.
BIOGRAFI EDMUND HUSSERL
(1859-1938)
Edmund Gustav
Albrecht Husserl dilahirkan pada
tanggal 8 April 1859 di Prostějov, Moravia,
Ceko (yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Austria).
Ia adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal
sebagai bapak fenomenologi.
Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam
sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai
sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena obyektif. Ia dilahirkan
dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostějov
(Prossnitz). Husserl adalah murid Franz Brentano dan
Carl Stumpf; karya
filsafatnya mempengaruhi, antara lain, Edith Stein (St.
Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice
Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada
tahun 1886 dia mempelajari psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi.
Tahun 1887 Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan
bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia
mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) dari
tahun 1887, lalu di Göttingen sebagai profesor dari 1901, dan di Freiburg im
Breisgau dari 1916 hingga ia pensiun pada 1928. Setelah itu, ia melanjutkan
penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga
kemudian dilarang menggunakannya – karena ia keturunan Yahudi – yang saat itu
dipimpin oleh rektor, dan sebagian karena pengaruh dari bekas muridnya, yang
juga anak emasnya, Martin Heidegger.[2]
Husserl meninggal dunia di Freiburg pada tanggal 27 April 1938 dalam usia 79
tahun akibat penyakit pneumonia.[3]
C.
FENOMENOLOGI EDMUND
HUSSERL
1.
Pengertian
Fenomenologi
Kata
fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari
phainesthai / phainomai / phainein yang artinya menampakkan,
memperlihatkan.[4]
Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Yaitu suatu hal yang tidak
nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan
kejadian yang dapat diamati lewat indera. Dan yang lebih penting dalam filsafat
fenomenologi sebagai sumber berpikir yang kritis.[5]
Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang
tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak
atau apa yang menampakkan diri atau fenomen.[6]
Istilah
fenomenologi telah digunakan sejak lama, sejak Lambert yang sezaman dengan Kant,
juga Hegel sampai Peirce, dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert
diartikan sebagai ilusi atas pengalaman. Kant membedakan antara phenomenon dan
noumenon, yang pertama sebagai objek yang kita alami dan yang kedua kejadian
sebagaimana hal itu terjadi. Hegel memandang phenomena sebagai tahapan untuk
sampai ke noumenon. Pada abad XIX arti fenomenologi menjadi sinonim dengan
fakta. Peirce berpendapat bahwa phenomenon itu bukan sekedar memberikan
deskripsi obyek, melainkan telah masuk unsur ilusi, imajinasi dan impian. Sejak
Edmund Husserl arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi
berpikir.[7]
Fenomenologi juga merupakan sebuah metode baru dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan, sebuah metode yang memperlihatkan diri dalam kesadaran.[8]
Fenomenologi
menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh
tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan
bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi
sesungguhnya.[9]
2.
Metode
Fenomenologi Edmund Husserl
Dalam pemikiran
Husserl, konsep fenomenologi itu berpusat pada persoalan tentang kebenaran.
Baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga sebagai metode,
karena dalam fenomenologi kita memperoleh langkah-langkah dalam menuju suatu
fenomena yang murni.[10]
Husserl yakin bahwa ada kebenaran bagi semua dan manusia dapat mencapai
kebenaran itu. Akan tetapi, Husserl melihat bahwa sesungguhnya di dalam filsafat
itu sendiri tiada kesesuaian dan kesepakatan karena tidak adanya metode yang
tepat sebagai pegangan yang dapat diandalkan. Bagi Husserl metode yang
benar-benar ilmiah adalah metode yang sanggup membuat fenomena menampakkan diri
sesuai dengan realitas yang sesungguhnya tanpa memanipulasinya. Ada suatu slogan
yang terkenal di kalangan penganut fenomenologi, yaitu: zu den sachen selbst
(terarah kepada benda itu sendiri). Dalam keterarahan benda itu,
sesungguhnya benda itu sendirilah yang dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat
dirinya sendiri. Berangkat dari proses pemikiran yang demikian, maka lahirlah
metode fenomenologis.[11]
Menurut Husserl
“prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak
menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir
dibidang Filsafat. Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam
pengalaman dapat dianggap benar dan dapat dianggap benar “sejauh
diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi
dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara
langsung kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi.[12]
“Fenomen”
merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan
realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut
kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan
sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas
merupakan unsur hakiki kesadaran). Dan justru karena kesadaran ditandai oleh
intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan
diri.[13]
Ada beberapa
aspek yang penting dalam intensionalitas Husserl, yakni:
- Lewat intensionalitas terjadi objektivikasi. Artinya bahwa unsur-unsur dalam arus kesadaran menunjuk kepada suatu objek, terhimpun pada suatu objek tertentu.
- Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat objektivikasi tadi dalam arti bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa-peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun pada objek sebagai hasil objektivikasi tadi.
- Intensionalitas juga saling menghubungkan segi-segi suatu objek dengan segi-segi yang mendampinginya.
- Intensionalitas mengadakan pula konstitusi.[14]
“Konstitusi”
merupakan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen
mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran
dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang
memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari
kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan
karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap
benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini
berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi
fenomen bagi kesadaran intensional.[15]
Sebagai contoh
dari konstitusi: “saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat
merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari
depan, belakang, kanan, kiri, atas dan seterusnya”. Tetapi bagi persepsi, gelas
adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah dikonstitusi.
Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan
dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti
suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat
manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah kita selalu hadir
dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat
Husserl sulalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan
suatu fenomen menjadi real dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek
historis.
Benda-benada
tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang kita temui
pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu
ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look)
tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran kedua
(second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran
kedua ini adalah intuisi. Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl
memperkenalkan pendekatan reduksi, yaitu penundaan segala ilmu
pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intuitif dilakukan.
Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang
digunakan Husserl adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu
di antara dua kurung. Maksudnya adalah melupakan pengertian-pengertian tentang
objek untuk sementara, dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi
tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya.[16]
Agar orang dapat memahami sebagaimana adanya, ia harus memusatkan perhatian
kepada fenomena tersebut tanpa prasangka dan tanpa memberi teori sama sekali,
akan tetapi tertuju kepada barang / hal itu sendiri, sehingga hakikat barang itu
dapat mengungkapkan dirinya sendiri.[17]
Dengan kata lain
dalam mengalami fenomen kita tidak terutama memandang fenomen, melainkan
memandang barang yang dibelakangnya. Jadi yang kita utamakan adalah realitas
yang di luar, dan tidak fenomennya sendiri yang ada di dalam kesadaran kita.
Kita biasanya terus begitu saja tertarik ke realitas, dan karena hanyut, maka
kita terus saja mengakui ini dan itu. Dalam semua itu sebenarnya pengertian kita
sebetulnya tidak murni. Kita mempunyai banyak prasangka, perasaan, pendirian
tertentu, dan sebagainya. Semua itu kita masukkan saja ke dalam pengertian kita.
Sekarang untuk mencapai pengertian yang murni kita harus berani hanya melihat
fenomen qua fenomen.[18]
Untuk mencapai
hakikat tersebut, Husserl mengemukakan metode bracketing dalam bentuk
reduksi-reduksi. Reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman. Pengalaman
adalah tanah dari mana dapat tumbuh segala makna dan kebenaran.[19]
Ada 3 macam reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam
pendekatan fenomenologi itu, yaitu reduksi fenomenologis, reduksi eidetis, dan
reduksi fenomenologi transedental.
a.
Reduksi
fenomenologis
Yaitu
menyisihkan segala keputusan tentang realitas atau idealitas objek dan subjek.
Tidak mau diperhatikan apakah memang ada atau tidak; eksistensi
dikesampingkan.[20]
Walaupun demikian, fenomen itu memang merupakan data, sebab sama sekali tidak
disangkal eksistensinya; hanya tidak diperhatikan. Namun obyek yang diteliti
hanya yang sejauh saya sadari. Dalam suasana kesadaran itu dengan tenang saya
pandang objek menurut relasinya dengan kesadaran. Tidak diberikan refleksi
mengenai fakta-fakta; tidak pula diberi statement tentang yang faktual.[21]
Hal yang
dilakukan oleh Husserl dalam reduksi fenomenologis ini adalah :
1)
Dengan
“mengurung” atau meminggirkan keyakinan kita akan totalitas obyek-obyek dan
segala hal yang kita terlibat dengannya dari pendirian alamiah dan malah menemui
pengalaman kita tentangnya.
2)
Menjelaskan
struktur dari apa yang tetap ada setelah dilakukan “pengurungan”.[22]
b.
Reduksi
eidetis
Maksud reduksi
ini ingin menemukan eidos, intisari; atau sampai kepada wesen-nya
(hakikat). Karena itu, reduksi ini juga disebut : wesenchau; artinya di
sini juga kita melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan
dalam arti umum, misalnya: “manusia adalah hakikatnya dapat mati”; bukan suatu
inti yang tersembunyi, misalnya: “hakikat hidup”; bukan pula hakikat seperti
yang dimaksud Aristoteles, seperti: “manusia adalah binatang yang berakal”.
Hakikat yang dimaksud Husserl adalah struktur dasariah, yang meliputi: isi
fundamental, ditambah semua sifat hakiki, ditambah semua relasi hakiki dengan
kesadaran dengan objek lain yang disadari.[23]
Tujuan sebenarnya dari reduksi adalah untuk mengungkap struktur dasar (esensi,
eidos, atau hakikat) dari suatu fenomena (gejala) murni atau yang telah
dimurnikan. Oleh karena itu, dalam reduksi eidetis yang harus dilakukan adalah
jangan dulu mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya aksidental atau
eksistensial itu. Caranya adalah dengan “menunda dalam tanda kurung”.[24]
Dengan reduksi eidetis ini dimana dalam khayalan semua perbedaan-perbedaan dari
sejumlah item dihilangkan sehingga tinggal saja suatu esensi.[25]
c.
Reduksi
fenomenologis transedental
Dalam reduksi
yang ketiga ini bukan lagi mengenai objek atau fenomen, tetapi khusus
pengarahan (intensionalitas) ke subjek (wende zum subjekt)
mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai “akt-akt” kesadaran sendiri
yang bersifat transedental. Fenomenologi harus menganalisis dan
menggambarkan cara berjalannya kesadaran transedental. [26]
D.
PENUTUP /
KESIMPULAN
Yang menarik dan
sangat penting dari metode fenomenologi Edmund Husserl ini adalah bahwa setiap
orang jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan sebelum mendialogkan masalah yang
dihadapi dengan secermat-cermatnya. Dalam metode brackketing dengan
berbagai reduksi-reduksi yang Husserl ungkapkan, bukti-bukti nyata belumlah
dipandang cukup untuk menetapkan sebuah eksistensi atau kebenaran. Kebenaran
tidak saja ditetapkan berdasarkan bukti-bukti empiris, tetapi masih diperlukan
kepada berbagai inquiry pengalaman “supra-empiris” lewat intuisi yang
bersifat apriori.
Husserl agaknya
telah mampu menyetesiskan sekaligus mengapresiasikan kedua aliran filsafat yang
sangat bertolak belakang, yaitu idealisme dan naturalisme. Ini dapat dilihat di
satu pihak ia menafikan sama sekali eksistensi objek pengalaman dunia nyata, dan
di pihak lain ia juga tidak menerima bahwa eksistensi kebenaran itu di luar
jangkauan akal manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran
transedental sebagai kebenaran tertinggi.
Metode
fenomenologi mulai dengan orang yang mengetahui dan mengalami, yakni
orang yang melakukan persepsi. Fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada
benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan pikiran, justru karena benda adalah
objek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang murni.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro,
Drs, 1994, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Abidin. Zainal,
2006, Filsafat Manusia, Memahami Manusia melalui Filsafat, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Bertens, K,
1981, Filsafat Barat Abad XX Jerman, Jakarta: PT. Gramedia, Anggota
IKAPI.
_________, 1996,
Filsafat Barat Abad XX Jilid II Perancis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Brouwer, M.A.W,
1984, Psikologi Fenomenologis, Jakarta: PT. Gramedia.
Collinson,
Diane, 2001, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, Jakarta: PT.
Raja Garfindo Persada.
Dagun, Save M.,
1990, Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta .Cet. 1.
1984,
Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Muhadjir, Noeng,
1998, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme,
Yogyakarta, Rakesarasin.
Pradja, Juhaya,
S., 1987, Aliran-Aliran Filsafat dari Rasionalisme hingga Skularisme,
Bandung: CV. Alva Gracia.
Rapar, Jan
Hendrik, 1996, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Salam,
Burhanuddin, Drs, 1998, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara.
Siswanto, Joko,
1998, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar anggota IKAPI. cet. 1.
SJ, N.
Drijarkara, Prof, Dr, 1978, Percikkan Filsafat, Jakarta: PT.
Pembangunan.
Titus, Harold,
dkk, 1984, Living Issues in Philosophy (Persoalan-Persoalan Filsafat),
alih bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Zubaedi, Dr,
M.Ag, M.Pd, dkk, 2007, Filsafat Barat dari Logika Baru Rene Descartes hingga
Revolusi Sains ala Thomas Khun, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar